Jumat, 11 Januari 2019

Satu Pengalaman Mengasah Sang Mutiara Hitam




Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keragaman suku bangsa, budaya, ras dan kepecayaan agama. Keragaman ini tentu memunculkan perbedaan-perbedaan disemua aspek kehidupannya termasuk aspek pendidikan. Karakter pendidikan yang ada di kota sudah pasti akan berbeda dengan karakter pendidikan di pedesaan bahkan dengan pedalaman Indonesia. Bisa kita lihat dari keterbatasan sarana prasarana yang menunjang pendidikan, rendahnya kompetensi guru yang mana tak jarang guru-guru disana hanyalah lulusan SMA ke bawah. Kurangnya kontrol dari pemerintah serta terjadinya kesenjangan antara kurikulum yang diberlakukan dengan karakter tenaga pendidik dan peserta didik yang ada di pedalaman. Saya ambil contoh bagaimana kondisi pendidikan yang ada di pedalaman Kabupaten Asmat, Provinsi Papua.
Pendidikan di pedalaman Kabupaten Asmat bisa dibilang sangat memprihatinkan. Jalur tempuh menuju lokasinya yang mana setiap distrik di Kabupaten Asmat itu harus melewati sungai-sungai dan laut, untuk distrik terjauh saja bisa memakan waktu 12 jam melewati jalur terdekat. Akses dari satu kampung ke kampung lainnya hanya bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan air berupa ketinting (perahu kecil), fiber (perahu berukuran agak besar terbuat dari fiber) serta speed boat. Tak sedikit guru-guru menolak untuk ditugaskan ke pedalaman Asmat karena jalur yang ditempuhnya sangatlah sulit terutama untuk jalur laut dengan gelombang cukup besar yang bisa merenggut nyawa seseorang di bulan-bulan tertentu. Akhirnya terjadi penumpukan guru di pusat kota dikarenakan alasan demikian.
Berikutnya kita lihat kondisi sekolahnya dan fasilitasnya, bangunan yang terbuat dari kayu besi dengan hanya terdiri dari 3 ruang kelas, 1 ruang guru tergabung dengan ruang kepala sekolah, dan 1 ruang talang air. Minimnya buku paket dan media pembelajaran. Fasilitas penunjang untuk kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler, perpustakaan, toilet tidak akan bisa kita temui di sekolah pedalaman.
Kondisi pendidik dan tenaga kependidikannya yang mana bisa kita lihat ketika datang ke sekolah di pedalaman yang ditemukan hanyalah kepala sekolah yang biasanya hanya dibantu oleh satu guru PNS atau honorer, itupun kalau guru yang bertugas disana memang berdedikasi tinggi, namun jika hanya sekedar formalitas saja, tidak akan kita temukan seorang gurupun yang mengajar, akibatnya sekolah terbengkalai dan berimbas pada kondisi siswa yang ada. Kebanyakan guru-guru di Kabupaten Asmat di tempatkan di daerah kabupatennya saja sehingga terjadi penumpukkan guru di kabupaten dan minimnya guru di setiap distrik. Selain itu, kemampuan pedagogis guru kurang terasah, terlihat dari kurang kreatifnya seorang guru dalam menyajikan materi dan kurang kompetennya dalam mengembangkan perangkat pembelajaran.
Berlanjut dengan kondisi peserta didiknya, berdasarkan data dapodik peserta didik yang terdaftar hampir sama seperti sekolah-sekolah di Jawa mencapai 300 orang, namun ketika kita lihat langsung dipalangan, jumlah tersebut berbanding terbalik dengan keadaan yang ada. Peserta didik yang hadir rata-rata tidak mencapai 20 orang untuk setiap kelasnya bahkan sewaktu-waktu bisa saja dalam satu kelas atau satu sekolah tidak ada seorangpun peserta didik yang hadir. Peserta didik di pedalaman Asmat tidak memiliki motivasi untuk belajar dikarenakan mereka tidak tahu gunanya belajar dan berpendidikan bagi kehidupannya. Mereka lebih memilih ikut orang tuanya ke hutan untuk mencari makan atau pergi mencari kayu gaharu dan itu berlangsung tidak dalam waktu sehari dua hari tapi bisa sampai seminggu bahkan beberapa tahun. Berbeda dengan peserta didik di Jawa atau provinsi lain yang telah maju, di pedalaman Kabupaten Asmat masih bisa kita temui peserta didik memakai pakaian santai bahkan pakaian yang menurut kita sudah tidak layak pakai dan itu bisa dipakai selama beberapa hari tidak hanya untuk sekolah tetapi untuk bermain juga. Bayangkan bagaimana gatalnya tubuh kita apabila tidak pernah ganti pakaian selama lebih dari satu hari, tetapi mereka sudah terbiasa akan hal itu. Seragam sekolah bukan tidak ada, penggunaan bantuan seperti BOS sebetulnya sudah dialokasikan untuk pebelian seragam, namun melihat kondisi anak-anak yang memakai seragam sekolah untuk bermain, akhirnya pihak sekolah memutuskan seragam sekolah akan diberikan ketika melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Kehidupan boleh terbelakang, tetapi kecerdasan peserta didik disana juga cukup mumpuni. Banyak peserta didik yang memiliki kecerdasan, keterampilan dan kemampuan-kemampuan dalam bidang akademik maupun non akademik, hanya saja tidak didampingin dengan fasilitas yang memadai.
Dibeberapa Distrik, kita bisa menjumpai orang tua peserta didik dan masyarakat sekitarnya tidak menunjukkan kepedulian terhadap pendidikan di daerahnya dan bagi anak-anaknya. Mereka tidak mau terlibat dengan hal-hal terkait pendidikan si anak baik dalam hal penyediaan perlengkapan belajar, membimbing untuk belajar di rumah, dan memberikan motivasi untuk belajar, semua itu orang tua serahkan kepada para guru yang mengajar d sekolah.
Cerita-cerita lain juga Saya dapatkan dari rekan-rekan di pedalaman negeri lainnya dengan karakter masyarakat, peserta didik dan kondisi pendidikan yang berbeda dengan pendidikan di Kabupaten Asmat. Saya bisa menyimpulkan bahwa karakter peserta didik setiap daerah itu berbeda, kita tidak bisa menyamaratakan mereka yang ada di pedalaman dengan mereka yang ada di perkotaan. Maka dari itu kurikulum yang digunakan, sistem pendidikan yang diterapkan haruslah yang sesuai dan mencakup seluruh karakter yang ada di Indonesia.
Sekarang kita tinjau kurikulum yang berlaku di Indonesia yaitu kurikulum 2013 yang telah beberapa kali mengalami revisi. Karakteristik kurikulum dan sasaran yang dituju dari kurikulum 2013 sangatlah relevan dengan tuntutan perkembangan IPTek dimana setiap individu haruslah mengasah kemampuan berfikir kritisnya, kebermaknaan suatu mata pelajaran dibangun di dalamnya, serta karakter-karakter individu turut dibangun mulai dari aspek sikap religi, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan kurikulum ini belum bisa sepenuhnya berjalan. Penyebabnya adalah ketidaksiapan tenaga pendidik dan juga peserta didik dalam menerima konsep kurikulum 2013 serta materi-materi ajar yang masih sama dengan materi di kurikulum-kurikulum sebelumnya. Siswa juga masih dicekoki dengan berbagai mata pelajaran, masih adanya pekerjaan rumah, ujian di setiap akhir babnya bahkan sekarang peserta didik seakan terseret dengan materi yang tidak sesuai dengan karakter pemikiran diusianya.
Lalu bagaiamana menerapkan kurikulum 2013 ini dengan kondisi seperti di pedalaman Kabupaten Asmat. Hemat saya ini merupakan hal yang cukup sulit dilaksanakan, banyak faktor yang menjadikan ketidaksiapan kurikulum 2013 diterapkan di daerah pedalaman. Dulu ketika saya menjadi salah satu guru dalam program SM3T dan mengajar di salah satu sekolah pedalaman Asmat, banyak sekali modifikasi-modifikasi yang dilakukan. Perangkat pembelajaran seperti RPP, LKPD dan bahan ajar lainnya rasanya tidak berguna, yang terpenting bagaimana caranya supaya peserta didik bisa mendapatkan ilmu. Buku sumber hanya dijadikan patokan materi yang diajarkan, tetapi untuk isi materi itu sendiri menyesuaikan kondisi lingkungan apabila tidak dijumpai dan belum pernah dijumpai oleh peserta didik, tentu akan sulit untuk diserap. Contoh alat transportasi, mengenal macam-macam alat transportasi, kita akan sulit menjelaskan deskripsi dari mobil, motor, dan pesawat kepada anak pedalaman yang mana mereka tidak menjumpai itu, dan ternyata ini muncul di ujian nasional, yang muncul adalah pesawat terbang, sementara anak pedalaman tidak tahu seperti apa itu pesawat terbang. Mengajar harus dengan suasana berbeda, bahkan lebih sering mengajar di luar ruangan dan juga harus super aktif. Full Day School lebih gawat lagi apabila diterapkan dipedalaman. Anak-anak pedalaman belajar di sekolah hanya bisa fokus sampai jam 10 pagi, lebih dari itu kita tidak akan menemukan kekondusifan dalam mengajar. Intinya mengajar di pedalaman negeri, kita harus mengenal terlebih dahulu bagaiman karakter lingkungan, masyarakat, peserta didik, dan sosial budayanya. Kita tidak bisa memasukkan gaya mengajar seperti di pulau Jawa ke tengah-tengah masyarakat pedalaman. Apabila hal tersebut sudah kita pahami, pasti inovasi dan kreatifitas kita dalam mendidik anak pedalaman akan muncul dan mereka pun akan menerima materi dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1

 KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1 PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN OLEH ASEP SAEPUL, S.Pd., Gr CGP ANGKAT...