Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki
keragaman suku bangsa, budaya, ras dan kepecayaan agama. Keragaman ini tentu
memunculkan perbedaan-perbedaan disemua aspek kehidupannya termasuk aspek
pendidikan. Karakter pendidikan yang ada di kota sudah pasti akan berbeda
dengan karakter pendidikan di pedesaan bahkan dengan pedalaman Indonesia. Bisa
kita lihat dari keterbatasan sarana prasarana yang menunjang pendidikan,
rendahnya kompetensi guru yang mana tak jarang guru-guru disana hanyalah lulusan
SMA ke bawah. Kurangnya kontrol dari pemerintah serta terjadinya kesenjangan
antara kurikulum yang diberlakukan dengan karakter tenaga pendidik dan peserta
didik yang ada di pedalaman. Saya ambil contoh bagaimana kondisi pendidikan
yang ada di pedalaman Kabupaten Asmat, Provinsi Papua.
Pendidikan di pedalaman Kabupaten Asmat
bisa dibilang sangat memprihatinkan. Jalur tempuh menuju lokasinya yang mana
setiap distrik di Kabupaten Asmat itu harus melewati sungai-sungai dan laut,
untuk distrik terjauh saja bisa memakan waktu 12 jam melewati jalur terdekat. Akses
dari satu kampung ke kampung lainnya hanya bisa ditempuh dengan menggunakan
kendaraan air berupa ketinting (perahu kecil), fiber (perahu berukuran agak
besar terbuat dari fiber) serta speed
boat. Tak sedikit guru-guru menolak untuk ditugaskan ke pedalaman Asmat
karena jalur yang ditempuhnya sangatlah sulit terutama untuk jalur laut dengan
gelombang cukup besar yang bisa merenggut nyawa seseorang di bulan-bulan
tertentu. Akhirnya terjadi penumpukan guru di pusat kota dikarenakan alasan
demikian.
Berikutnya kita lihat kondisi sekolahnya
dan fasilitasnya, bangunan yang terbuat dari kayu besi dengan hanya terdiri
dari 3 ruang kelas, 1 ruang guru tergabung dengan ruang kepala sekolah, dan 1
ruang talang air. Minimnya buku paket dan media pembelajaran. Fasilitas
penunjang untuk kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler, perpustakaan,
toilet tidak akan bisa kita temui di sekolah pedalaman.
Kondisi pendidik dan tenaga
kependidikannya yang mana bisa kita lihat ketika datang ke sekolah di pedalaman
yang ditemukan hanyalah kepala sekolah yang biasanya hanya dibantu oleh satu
guru PNS atau honorer, itupun kalau guru yang bertugas disana memang berdedikasi
tinggi, namun jika hanya sekedar formalitas saja, tidak akan kita temukan
seorang gurupun yang mengajar, akibatnya sekolah terbengkalai dan berimbas pada
kondisi siswa yang ada. Kebanyakan guru-guru di Kabupaten Asmat di tempatkan di
daerah kabupatennya saja sehingga terjadi penumpukkan guru di kabupaten dan
minimnya guru di setiap distrik. Selain itu, kemampuan pedagogis guru kurang
terasah, terlihat dari kurang kreatifnya seorang guru dalam menyajikan materi
dan kurang kompetennya dalam mengembangkan perangkat pembelajaran.
Berlanjut dengan kondisi peserta didiknya,
berdasarkan data dapodik peserta didik yang terdaftar hampir sama seperti
sekolah-sekolah di Jawa mencapai 300 orang, namun ketika kita lihat langsung
dipalangan, jumlah tersebut berbanding terbalik dengan keadaan yang ada. Peserta
didik yang hadir rata-rata tidak mencapai 20 orang untuk setiap kelasnya bahkan
sewaktu-waktu bisa saja dalam satu kelas atau satu sekolah tidak ada seorangpun
peserta didik yang hadir. Peserta didik di pedalaman Asmat tidak memiliki
motivasi untuk belajar dikarenakan mereka tidak tahu gunanya belajar dan
berpendidikan bagi kehidupannya. Mereka lebih memilih ikut orang tuanya ke
hutan untuk mencari makan atau pergi mencari kayu gaharu dan itu berlangsung
tidak dalam waktu sehari dua hari tapi bisa sampai seminggu bahkan beberapa
tahun. Berbeda dengan peserta didik di Jawa atau provinsi lain yang telah maju,
di pedalaman Kabupaten Asmat masih bisa kita temui peserta didik memakai pakaian
santai bahkan pakaian yang menurut kita sudah tidak layak pakai dan itu bisa
dipakai selama beberapa hari tidak hanya untuk sekolah tetapi untuk bermain
juga. Bayangkan bagaimana gatalnya tubuh kita apabila tidak pernah ganti
pakaian selama lebih dari satu hari, tetapi mereka sudah terbiasa akan hal itu.
Seragam sekolah bukan tidak ada, penggunaan bantuan seperti BOS sebetulnya
sudah dialokasikan untuk pebelian seragam, namun melihat kondisi anak-anak yang
memakai seragam sekolah untuk bermain, akhirnya pihak sekolah memutuskan
seragam sekolah akan diberikan ketika melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Kehidupan
boleh terbelakang, tetapi kecerdasan peserta didik disana juga cukup mumpuni. Banyak
peserta didik yang memiliki kecerdasan, keterampilan dan kemampuan-kemampuan
dalam bidang akademik maupun non akademik, hanya saja tidak didampingin dengan fasilitas
yang memadai.
Dibeberapa Distrik, kita bisa menjumpai orang
tua peserta didik dan masyarakat sekitarnya tidak menunjukkan kepedulian terhadap
pendidikan di daerahnya dan bagi anak-anaknya. Mereka tidak mau terlibat dengan
hal-hal terkait pendidikan si anak baik dalam hal penyediaan perlengkapan
belajar, membimbing untuk belajar di rumah, dan memberikan motivasi untuk
belajar, semua itu orang tua serahkan kepada para guru yang mengajar d sekolah.
Cerita-cerita lain juga Saya dapatkan dari
rekan-rekan di pedalaman negeri lainnya dengan karakter masyarakat, peserta
didik dan kondisi pendidikan yang berbeda dengan pendidikan di Kabupaten Asmat.
Saya bisa menyimpulkan bahwa karakter peserta didik setiap daerah itu berbeda,
kita tidak bisa menyamaratakan mereka yang ada di pedalaman dengan mereka yang
ada di perkotaan. Maka dari itu kurikulum yang digunakan, sistem pendidikan
yang diterapkan haruslah yang sesuai dan mencakup seluruh karakter yang ada di
Indonesia.
Sekarang kita tinjau kurikulum yang
berlaku di Indonesia yaitu kurikulum 2013 yang telah beberapa kali mengalami
revisi. Karakteristik kurikulum dan sasaran yang dituju dari kurikulum 2013
sangatlah relevan dengan tuntutan perkembangan IPTek dimana setiap individu
haruslah mengasah kemampuan berfikir kritisnya, kebermaknaan suatu mata
pelajaran dibangun di dalamnya, serta karakter-karakter individu turut dibangun
mulai dari aspek sikap religi, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan.
Namun pada kenyataannya, pelaksanaan kurikulum ini belum bisa sepenuhnya
berjalan. Penyebabnya adalah ketidaksiapan tenaga pendidik dan juga peserta
didik dalam menerima konsep kurikulum 2013 serta materi-materi ajar yang masih sama
dengan materi di kurikulum-kurikulum sebelumnya. Siswa juga masih dicekoki
dengan berbagai mata pelajaran, masih adanya pekerjaan rumah, ujian di setiap
akhir babnya bahkan sekarang peserta didik seakan terseret dengan materi yang tidak
sesuai dengan karakter pemikiran diusianya.
Lalu bagaiamana menerapkan kurikulum 2013
ini dengan kondisi seperti di pedalaman Kabupaten Asmat. Hemat saya ini
merupakan hal yang cukup sulit dilaksanakan, banyak faktor yang menjadikan
ketidaksiapan kurikulum 2013 diterapkan di daerah pedalaman. Dulu ketika saya menjadi
salah satu guru dalam program SM3T dan mengajar di salah satu sekolah pedalaman
Asmat, banyak sekali modifikasi-modifikasi yang dilakukan. Perangkat pembelajaran
seperti RPP, LKPD dan bahan ajar lainnya rasanya tidak berguna, yang terpenting
bagaimana caranya supaya peserta didik bisa mendapatkan ilmu. Buku sumber hanya
dijadikan patokan materi yang diajarkan, tetapi untuk isi materi itu sendiri
menyesuaikan kondisi lingkungan apabila tidak dijumpai dan belum pernah
dijumpai oleh peserta didik, tentu akan sulit untuk diserap. Contoh alat transportasi,
mengenal macam-macam alat transportasi, kita akan sulit menjelaskan deskripsi
dari mobil, motor, dan pesawat kepada anak pedalaman yang mana mereka tidak
menjumpai itu, dan ternyata ini muncul di ujian nasional, yang muncul adalah pesawat
terbang, sementara anak pedalaman tidak tahu seperti apa itu pesawat terbang. Mengajar
harus dengan suasana berbeda, bahkan lebih sering mengajar di luar ruangan dan
juga harus super aktif. Full Day School
lebih gawat lagi apabila diterapkan dipedalaman. Anak-anak pedalaman belajar di
sekolah hanya bisa fokus sampai jam 10 pagi, lebih dari itu kita tidak akan
menemukan kekondusifan dalam mengajar. Intinya mengajar di pedalaman negeri,
kita harus mengenal terlebih dahulu bagaiman karakter lingkungan, masyarakat,
peserta didik, dan sosial budayanya. Kita tidak bisa memasukkan gaya mengajar
seperti di pulau Jawa ke tengah-tengah masyarakat pedalaman. Apabila hal
tersebut sudah kita pahami, pasti inovasi dan kreatifitas kita dalam mendidik anak
pedalaman akan muncul dan mereka pun akan menerima materi dengan baik.