Jumat, 11 Januari 2019

Satu Pengalaman Mengasah Sang Mutiara Hitam




Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keragaman suku bangsa, budaya, ras dan kepecayaan agama. Keragaman ini tentu memunculkan perbedaan-perbedaan disemua aspek kehidupannya termasuk aspek pendidikan. Karakter pendidikan yang ada di kota sudah pasti akan berbeda dengan karakter pendidikan di pedesaan bahkan dengan pedalaman Indonesia. Bisa kita lihat dari keterbatasan sarana prasarana yang menunjang pendidikan, rendahnya kompetensi guru yang mana tak jarang guru-guru disana hanyalah lulusan SMA ke bawah. Kurangnya kontrol dari pemerintah serta terjadinya kesenjangan antara kurikulum yang diberlakukan dengan karakter tenaga pendidik dan peserta didik yang ada di pedalaman. Saya ambil contoh bagaimana kondisi pendidikan yang ada di pedalaman Kabupaten Asmat, Provinsi Papua.
Pendidikan di pedalaman Kabupaten Asmat bisa dibilang sangat memprihatinkan. Jalur tempuh menuju lokasinya yang mana setiap distrik di Kabupaten Asmat itu harus melewati sungai-sungai dan laut, untuk distrik terjauh saja bisa memakan waktu 12 jam melewati jalur terdekat. Akses dari satu kampung ke kampung lainnya hanya bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan air berupa ketinting (perahu kecil), fiber (perahu berukuran agak besar terbuat dari fiber) serta speed boat. Tak sedikit guru-guru menolak untuk ditugaskan ke pedalaman Asmat karena jalur yang ditempuhnya sangatlah sulit terutama untuk jalur laut dengan gelombang cukup besar yang bisa merenggut nyawa seseorang di bulan-bulan tertentu. Akhirnya terjadi penumpukan guru di pusat kota dikarenakan alasan demikian.
Berikutnya kita lihat kondisi sekolahnya dan fasilitasnya, bangunan yang terbuat dari kayu besi dengan hanya terdiri dari 3 ruang kelas, 1 ruang guru tergabung dengan ruang kepala sekolah, dan 1 ruang talang air. Minimnya buku paket dan media pembelajaran. Fasilitas penunjang untuk kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler, perpustakaan, toilet tidak akan bisa kita temui di sekolah pedalaman.
Kondisi pendidik dan tenaga kependidikannya yang mana bisa kita lihat ketika datang ke sekolah di pedalaman yang ditemukan hanyalah kepala sekolah yang biasanya hanya dibantu oleh satu guru PNS atau honorer, itupun kalau guru yang bertugas disana memang berdedikasi tinggi, namun jika hanya sekedar formalitas saja, tidak akan kita temukan seorang gurupun yang mengajar, akibatnya sekolah terbengkalai dan berimbas pada kondisi siswa yang ada. Kebanyakan guru-guru di Kabupaten Asmat di tempatkan di daerah kabupatennya saja sehingga terjadi penumpukkan guru di kabupaten dan minimnya guru di setiap distrik. Selain itu, kemampuan pedagogis guru kurang terasah, terlihat dari kurang kreatifnya seorang guru dalam menyajikan materi dan kurang kompetennya dalam mengembangkan perangkat pembelajaran.
Berlanjut dengan kondisi peserta didiknya, berdasarkan data dapodik peserta didik yang terdaftar hampir sama seperti sekolah-sekolah di Jawa mencapai 300 orang, namun ketika kita lihat langsung dipalangan, jumlah tersebut berbanding terbalik dengan keadaan yang ada. Peserta didik yang hadir rata-rata tidak mencapai 20 orang untuk setiap kelasnya bahkan sewaktu-waktu bisa saja dalam satu kelas atau satu sekolah tidak ada seorangpun peserta didik yang hadir. Peserta didik di pedalaman Asmat tidak memiliki motivasi untuk belajar dikarenakan mereka tidak tahu gunanya belajar dan berpendidikan bagi kehidupannya. Mereka lebih memilih ikut orang tuanya ke hutan untuk mencari makan atau pergi mencari kayu gaharu dan itu berlangsung tidak dalam waktu sehari dua hari tapi bisa sampai seminggu bahkan beberapa tahun. Berbeda dengan peserta didik di Jawa atau provinsi lain yang telah maju, di pedalaman Kabupaten Asmat masih bisa kita temui peserta didik memakai pakaian santai bahkan pakaian yang menurut kita sudah tidak layak pakai dan itu bisa dipakai selama beberapa hari tidak hanya untuk sekolah tetapi untuk bermain juga. Bayangkan bagaimana gatalnya tubuh kita apabila tidak pernah ganti pakaian selama lebih dari satu hari, tetapi mereka sudah terbiasa akan hal itu. Seragam sekolah bukan tidak ada, penggunaan bantuan seperti BOS sebetulnya sudah dialokasikan untuk pebelian seragam, namun melihat kondisi anak-anak yang memakai seragam sekolah untuk bermain, akhirnya pihak sekolah memutuskan seragam sekolah akan diberikan ketika melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Kehidupan boleh terbelakang, tetapi kecerdasan peserta didik disana juga cukup mumpuni. Banyak peserta didik yang memiliki kecerdasan, keterampilan dan kemampuan-kemampuan dalam bidang akademik maupun non akademik, hanya saja tidak didampingin dengan fasilitas yang memadai.
Dibeberapa Distrik, kita bisa menjumpai orang tua peserta didik dan masyarakat sekitarnya tidak menunjukkan kepedulian terhadap pendidikan di daerahnya dan bagi anak-anaknya. Mereka tidak mau terlibat dengan hal-hal terkait pendidikan si anak baik dalam hal penyediaan perlengkapan belajar, membimbing untuk belajar di rumah, dan memberikan motivasi untuk belajar, semua itu orang tua serahkan kepada para guru yang mengajar d sekolah.
Cerita-cerita lain juga Saya dapatkan dari rekan-rekan di pedalaman negeri lainnya dengan karakter masyarakat, peserta didik dan kondisi pendidikan yang berbeda dengan pendidikan di Kabupaten Asmat. Saya bisa menyimpulkan bahwa karakter peserta didik setiap daerah itu berbeda, kita tidak bisa menyamaratakan mereka yang ada di pedalaman dengan mereka yang ada di perkotaan. Maka dari itu kurikulum yang digunakan, sistem pendidikan yang diterapkan haruslah yang sesuai dan mencakup seluruh karakter yang ada di Indonesia.
Sekarang kita tinjau kurikulum yang berlaku di Indonesia yaitu kurikulum 2013 yang telah beberapa kali mengalami revisi. Karakteristik kurikulum dan sasaran yang dituju dari kurikulum 2013 sangatlah relevan dengan tuntutan perkembangan IPTek dimana setiap individu haruslah mengasah kemampuan berfikir kritisnya, kebermaknaan suatu mata pelajaran dibangun di dalamnya, serta karakter-karakter individu turut dibangun mulai dari aspek sikap religi, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan kurikulum ini belum bisa sepenuhnya berjalan. Penyebabnya adalah ketidaksiapan tenaga pendidik dan juga peserta didik dalam menerima konsep kurikulum 2013 serta materi-materi ajar yang masih sama dengan materi di kurikulum-kurikulum sebelumnya. Siswa juga masih dicekoki dengan berbagai mata pelajaran, masih adanya pekerjaan rumah, ujian di setiap akhir babnya bahkan sekarang peserta didik seakan terseret dengan materi yang tidak sesuai dengan karakter pemikiran diusianya.
Lalu bagaiamana menerapkan kurikulum 2013 ini dengan kondisi seperti di pedalaman Kabupaten Asmat. Hemat saya ini merupakan hal yang cukup sulit dilaksanakan, banyak faktor yang menjadikan ketidaksiapan kurikulum 2013 diterapkan di daerah pedalaman. Dulu ketika saya menjadi salah satu guru dalam program SM3T dan mengajar di salah satu sekolah pedalaman Asmat, banyak sekali modifikasi-modifikasi yang dilakukan. Perangkat pembelajaran seperti RPP, LKPD dan bahan ajar lainnya rasanya tidak berguna, yang terpenting bagaimana caranya supaya peserta didik bisa mendapatkan ilmu. Buku sumber hanya dijadikan patokan materi yang diajarkan, tetapi untuk isi materi itu sendiri menyesuaikan kondisi lingkungan apabila tidak dijumpai dan belum pernah dijumpai oleh peserta didik, tentu akan sulit untuk diserap. Contoh alat transportasi, mengenal macam-macam alat transportasi, kita akan sulit menjelaskan deskripsi dari mobil, motor, dan pesawat kepada anak pedalaman yang mana mereka tidak menjumpai itu, dan ternyata ini muncul di ujian nasional, yang muncul adalah pesawat terbang, sementara anak pedalaman tidak tahu seperti apa itu pesawat terbang. Mengajar harus dengan suasana berbeda, bahkan lebih sering mengajar di luar ruangan dan juga harus super aktif. Full Day School lebih gawat lagi apabila diterapkan dipedalaman. Anak-anak pedalaman belajar di sekolah hanya bisa fokus sampai jam 10 pagi, lebih dari itu kita tidak akan menemukan kekondusifan dalam mengajar. Intinya mengajar di pedalaman negeri, kita harus mengenal terlebih dahulu bagaiman karakter lingkungan, masyarakat, peserta didik, dan sosial budayanya. Kita tidak bisa memasukkan gaya mengajar seperti di pulau Jawa ke tengah-tengah masyarakat pedalaman. Apabila hal tersebut sudah kita pahami, pasti inovasi dan kreatifitas kita dalam mendidik anak pedalaman akan muncul dan mereka pun akan menerima materi dengan baik.

Rabu, 09 Januari 2019

Artikel Pendidikan (Hasil Penelitian)


Assalamualaikum wr. wb
halo rekan-rekan yang yang penuh dengan gairah dan ambisi dalam mencapai kesuksesan di bidangnya. semoga tetap semangat dalam membangun bangsa.....
kali ini saya ingin berbagi artikel hasil penelitian saya mengenai suatu model pembelajaran yang saya terapkan di salah satu sekolah SMA.

semoga bermanfaat 

PENGARUH IMPLEMENTASI MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS PADA SISWA SMA
 Asep Saepul
Prodi Pendidikan Matematika
 
Rendahnya kemampuan siswa dalam memahami dan memaknai pelajaran Matematika masih begitu pekat dirasakan dalam proses pembelajaran. Matematika masih menjadi salah satu mata pelajaran yang kurang di sukai, diminati bahkan membosankan bagi mayoritas pelajar khususnya SMA. Hasil observasi yang dilakukan di beberapa sekolah kota Bandung dan Garut, berbagai alasan dikemukakan oleh setiap siswa seperti kurangnya motivasi dari guru pengajar dalam memberikan rangsangan kepada siswa, cara mengajar guru yang kurang menyenangkan bagi siswa, tidak diberikannya kebebasan siswa dalam memahami materi, guru hanya memberikan materi secara prosedural dan sistematis, tidak adanya kejelasan bagi siswa mengenai hubungan Matematika dengan kehidupan sehari-hari, siswa yang masih menghafal rumus Matematika, serta banyaknya rumus-rumus yang harus mereka pahami dalam pelajaran Matematika.
Akibat yang dihasilkan adalah tidak adanya semangat siswa dalam memahami materi apalagi saat mata pelajaran Matematika di tempatkan di jam terakhir, tujuan yang ingin dicapai dalam setiap pembelajaran kurang maksimal, penguasaan materi kurang dan akhirnya nilai siswa tidak begitu memuaskan bagi siswa dan guru, serta yang tak kalah penting adalah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang dapat mereka terapkan juga dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa terangsang dengan baik. Mayoritas siswa mengemukakan pendapat bahwa mereka sering terkecoh dalam penerjemahan soal ke dalam bentuk Matematika apabila dihadapkan dengan bentuk soal cerita yang tidak rutin, sulitnya untuk memahami persoalan yang ditanyakan dan juga rumus yang tepat digunakan sebagai penyelesaian. Siswa kebingungan apa yang harus mereka kerjakan terlebih dahulu agar soal tersebut bisa terselesaikan dengan baik. Secara keseluruhan dari hasil observasi yang diperoleh, indikator-indikator yang termasuk pada pemecahan masalah tidak berkembang dengan baik di setiap diri siswa. Padahal kemampuan pemecahan masalah sangatlah penting bagi setiap individu yang mana tidak jarang menemukan berbagai persoalan dalam kehidupannya. Kemampuan pemecahan masalah membantu seseorang dalam memahami, menganalisis, menyelidiki serta membuat solusi agar permasalahan yang dihadapi bisa segera terselesaikan.
Dengan demikian diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis penting dimiliki oleh peserta didik. Namun, pada faktanya kemampuan tersebut masih rendah. Oleh karena itu diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis pada siswa SMA yakni salah satunya dengan menerapkan model Problem Based Learning (PBL) agar peserta didik lebih tertarik belajar Matematika dan membantu dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Model PBL merupakan salah satu model yang dewasa ini tengah digunakan dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Model ini bercirikan adanya suatu permasalahan yang nyata sebagai konteks untuk para peserta didik yang nantinya dapat diterapkan sebagai ilmu baru serta mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis, mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam suatu kelompok. Seperti yang di ungkapkan Barrows sebagai pakar PBL dalam gaya hidup alami  bahwa “PBL adalah sebuah metode pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru”. (http://gayahidupalami.wordpress.com/pendidikan/ problem-based-learning/).  Lebih lanjut Torp dan Sage (dalam Abidin, 2014: 160) memandang “PBL merupakan model pembelajaran yang difokuskan untuk menjembatani siswa agar beroleh pengalaman belajar dalam mengorganisasikan, meneliti, dan memecahkan masalah-masalah kehidupan yang kompleks”. Model ini memiliki karakteristik Permasalahan menjadi starting point dalam belajar, Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur, permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective), Permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar, Belajar pengarahn diri menjadi hal utama, Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beraam, penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBL, Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif, Mengembangkan keterampilan inkuiri dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari dari sebuah permasalahan, Keterbukaan proses dalam PBL meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar, PBL melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dalam belajar. (Rusman, 2013: 232). Apabila melihat karakteristik dari model ini, memungkinkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dimana siswa dapat belajar dalam memahami masalah yang ditemukan, menyusun rencana kerja yang sistematis, efektif dan efisien, melaksanakan rencana yang telah dibuat untuk menemukan solusi, dan mampu mengevaluasi serta me-review solusi yang terbaik.
Penelitian dilakukan terhadap 2 kelas sebagai kelas control dan kelas eksperimen dengan mengumpulkan data awal kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dari materi prasyarat serta memberikan postes terhadap kedua sampel tersebut. Dari hasil perhitungan uji hipotesis 1 menggunakan uji beda rata-rata diperoleh nilai sig (­2-tailed) adalah 0,001 < 0,05 sehingga H­0­ ditolak, artinya µ1 ≠ µ2 atau terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis pada kelompok siswa kemampuan tinggi di kelas eksperimen yang menggunakan model PBL dengan kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Uji hipotesis 2 diperoleh nilai sig (­2-tailed) adalah 0,000 < 0,05 sehingga H­0­ ditolak, artinya µ1 ≠ µ2 atau terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis pada kelompok siswa kemampuan sedang di kelas eksperimen yang menggunakan model PBL dengan kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran konvensional. uji hipotesis 3 diperoleh nilai sig (­2-tailed) adalah 0,142 > 0,05 sehingga H­0­ diterima, artinya µ1 = µ2 atau tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis pada kelompok siswa kemampuan rendah di kelas eksperimen yang menggunakan model PBL dengan kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran konvensional. sementara uji hipotesis 4 diperoleh 0,000 < 0,05 sehingga H­0­ ditolak, artinya µ1 ≠ µ2 atau terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis pada siswa secara keseluruhan di kelas eksperimen yang menggunakan model PBL dengan kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran konvensional. dari hasil uji dipotesis tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran menggunakan model PBL berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis pada siswa kelompok tinggi dan sedang. Sementara pada siswa kelompok rendah tidak terdapat pengaruh implementasi model PBL terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis. Namun secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh implementasi model PBL terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis pada siswa SMA.
Abidin, Yunus. (2014). Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: Refika Aditama.
Kartika. (2012). Problem Based Learning, [online]. Tersedia, http://gayahidupalami.wordpress.com/ pendidikan/problem-based-learning/.
Rusman. (2013). Seri Manajemen Sekolah Bermutu Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. (2013). Statistika dalam Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Minggu, 06 Januari 2019

Contoh Motivation Letter

hallo semuanya,,,,, apa kabar????? semoga dalam keadaan baik dan aktivitasnya juga lancar ya

nah dipostingan kali ini saya akan berbagi contoh "motivation letter" yang sempat saya buat untuk mengikuti seleksi kegiatan pengabdian masyarakat.

motivation letter sendiri berarti surat motivasi yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk pengajuan beasiswa, pendaftaran suatu program dan lainnya. isi dari motivation letter itu sendiri yakni, latar belakang sang pembuat, alasan mengkuti program, pengalaman-pengalaman pendukung, harapan serta tindak lanjut dari program yang diikuti. contoh yang saya buat adalah motivation letter untuk kegiatan pengembangan potensi desa dan juga kegiatan pengabdian ke daerah-daerah pelosok



MOTIVATION LETTER
PENGEMBANGAN POTENSI DESA

Sebagai anak yang diandalkan oleh orang tua dan kebetulan semua anak di rumah tidak ada anak perempuan, sejak kecil saya sering disuruh membantu Ibu untuk pekerjaan di rumah. Salah satu yang sering saya lakukan adalah membantu Ibu memasak. Kegiatan ini sudah dilakukan sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan menjadi salah satu hobi. Membuat masakanan, bereksperimen masakan sampai kuliner untuk menambah referensi memasak. Rasanya ada kebahagiaan tersendiri dari hobi membuat masakan ini.
Jika memasak adalah salah satu hobi saya, maka menjadi seorang pendidik adalah profesi yang sangat saya dambakan. Berbagi ilmu, membimbing dan mengayomi para generasi muda untuk menentukan tujuan hidupnya, menggapai semua impiannya dengan penuh kasih sayang, ketulusan dan keikhlasan. Membangun generasi yang penuh prestasi, mencintai budaya sendiri dan tentunya mampu memberikan yang terbaik bagi lingkungan, nusa, bangsa dan juga agama.
Hobi memasak dan impian menjadi seorang pendidik di suntik juga dengan pengalaman-pengalaman yang dirasakan sendiri baik dari sekolah maupun lingkungan menumbuhkan benih-benih di hati saya untuk senantiasa memberikan manfaat bagi lingkungan dimana saya berada. Hal inilah yang membuat saya berpikir kenapa saya tidak memanfaatkan kemampuan yang saya miliki untuk bangsa ini dengan memulainya dari lingkungan tempat saya dilahirkan.
Sedikit gambaran mengenai tempat saya dilahirkan yakni Desa Jayamekar. Salah satu Desa di Kabupaten Sumedang yang lokasinya berada di dataran tinggi sekitar 929 meter di atas permukaan laut. Memiliki suhu yang cukup dingin, tanah yang subur, pesawahan masih terhampar dengan luasnya serta dikelilingi dengan hutan pinus yang indah. Sebagian besar masyarakat  hidup dari hasil bertani dan bercocok tanam dengan berbagai macam sayuran dan umbi-umbian, ada pula yang memiliki ternak unggas, kambing ataupun sapi. Kawasan yang cukup jauh dari perkotaan namun untuk kebutuhan sehari-hari tidaklah sulit dicari.
Saya ingat dulu di kawasan Cibubut ada 3 bangunan vila milik salah satu warga, di bawahnya ada danau kecil dengan deretan pendopo tempat masyarakat melakukan acara botram/piknik. Tak jauh dari sana ada hutan pinus yang tersusun dengan rapi dan dengan menelusuri jalanan dari kawasan tersebut kita bisa bertemu dengan kolam renang Citengah dan Cisoka dengan pemandangan kebun teh yang sangat indah. Keinginan saya untuk memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar adalah dengan memanfaatkan kawasan ini. Melihat kondisi lingkungan dan keberminatan masyarakat akan tempat-tempat wisata yang sejuk, kawasan di Cibubut ini cocok sekali dijadikan sebagai salah satu tempat wisata alam yang dimiliki Desa Jayamekar. Dulu saya dan teman-teman sering bermain kesana menikmati keindahan alamnya hanya saja belum dikelola dengan baik sehingga tidak cukup terkenal, maka dari itu saya ingin mengangkat perekonomian masyarakat sekitar dengan mengelola Cibubut menjadi kawasan wisata. Dimana ada tempat wisata, disitulah kuliner berada, sebagai pendukung dan tentu daya tarik tersendiri juga, tempat makan menjadi salah satu lokasi yang haruslah ada. Disini saya ingin membuat rumah makan yang mana seluruh pasokan bahan makanannya datang dari warga sekitar. Pasokan sayuran bisa bekerjasama dengan para warga yang berkebun. Pasokan daging bisa bekerjasama dengan para peternak. Tenaga kerja untuk kawasan wisata dan rumah makan tersebut tentunya dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang ada agar masyarakat tidak perlu bekerja keluar kota untuk mencari uang.
Sumber daya manusia ini tentunya harus memiliki softskill dan juga keterampilan yang mumpuni. Hal ini berhubungan dengan impian saya menjadi seorang pendidik. Kebetulan di daerah saya ada Manca (Taman Membaca) dulu masih beroperasi dengan baik namun sekarang terbengkalai. Nah, saya berkeinginan untuk mengelola kembali Manca tersebut dengan sedikit kreasi dimana tidak hanya sebagai area membaca masyarakat tetapi juga digunakan sebagai tempat membina khususnya anak-anak muda dalam mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki juga untuk membantu bimbinga-bimbingan mereka dalam belajar. Menjadikan Manca sebagai sarana untuk mengapresiasikan minat dan bakat masyarakat terkhusus anak-anak yang ada di Desa tempat saya tinggal. Dengan begitu desa tempat saya tinggal menjadi desa yang produktif, mandiri, dan juga mampu menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya
Saya sangat tertarik ketika membaca informasi MbangunDeso yang membuka kesempatan bagi seluruh kalangan masyarakat untuk bergabung sebagai agen inovator dan mengikuti kegiatan Ayo Mengabdi. Kegiatan ini bisa menjadi salah satu langkah saya dalam mewujudkan keinginan membangun daerah tempat saya dilahirkan. Saya bisa menambah pengalaman baru, wawasan baru, dan juga banyak ilmu yang tentunya akan saya dapatkan dari kegiatan ini. Bertukar pikiran dengan sesama peserta maupun pihak MbangunDeso. Mempelajari bagaimana strategi dalam pengelolaan pembangunan potensi daerah. Lebih peka terhadap lingkungan sekitar dan potensi yang dimilikinya. Mengambil banyak ilmu dari lokasi pengabdian nanti tentunya.
Kedepannya apabila saya menjadi bagian dari peserta ayo mengabdi ini dan telah melaksanakan kegiatan pengabdian di daerah nanti, tentunya saya akan memulai menjalankan apa yang telah saya rencanakan terkait gagasan saya untuk pengembangan daerah tempat saya lahir dengan tidak lupa untuk terus menambah wawasan, pengalaman dan ilmu saya serta memperluas jaringan agar saya bisa bekerjasama juga dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama seperti saya yang ingin membangun daerahnya agar menjadi daerah yang potensial dan produktif.
Saya berharap bisa menjadi bagian dari agen inovator Ayo Mengabdi dengan ketekunan, komitmen dan kontribusi untuk negeri yang senantiasa ada dalam diri saya hingga nantinya saya mampu membangun dan mengembangkan potensi-potensi yang ada di seluruh wilayah Indonesia khususnya di wilayah tempat kelahiran saya. Selamanya mengabdi selamanya menginspirasi.


MOTIVATION LETTER
PROGRAM PENGABDIAN 

Sebagai salah satu generasi penerus bangsa yang cinta akan bangsanya sendiri, tentunya memiliki impian-impian yang ingin diwujudkan baik untuk diri sendiri maupun untuk bangsa yang dicintainya. Sudah sepantasnya sebagai seorang pemuda memiliki rencana, progres dan tindakan nyata dalam membangun bangsa ini. Generasi penerus mengemban amanat cukup besar dari para pendahulu demi kelangsungan hidup, kemakmuran, keamanan dan kesejahteraan bangsa. Bukan menjadi generasi yang manja melainkan generasi yang mandiri, kreatif, inovatif, dan bekerjasama. Saya merupakan salah satu generasi penerus bangsa, saya sadar kelangsungan bangsa ini salah satunya tergantung bagaimana saya bertindak, maka dari itu saya tidak ingin menjadi pemuda yang hanya membebani bangsa tetapi turut andil dalam pembangunan bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang saya geluti sebagai salah satu langkah saya dalam membangun bangsa. Hemat saya, pendidikan merupakan pondasi utama pembentukan karakter individu dan juga bagaimana sebuah bangsa menjadi besar. Pendidikan mengajarkan kita menjadi pribadi yang memiliki tata krama baik, pengetahuan yang luas, potensi minat dan bakat bisa tersalurkan dengan baik. Maka dari itu saya meniatkan dalam hati untuk terus konsisten memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan bagi bangsa ini.
Alasan saya mengikuti kegiatan Ekspedisi Lombok yang diselenggarakan oleh 10000 Beasiswa Semarang tidak lain karena niatan saya untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan serta langkah saya dalam mewujudkan salah satu impian yang saya torehkan.  Saya memiliki mimpi untuk membangun suatu lembaga pendidikan non formal yang memfokuskan anak-anak untuk belajar berdasarkan minat dan bakatnya sehingga materi-materi pelajaran yang dipelajari hanya materi pendukung minat dan bakat tersebut. Strategi, metode, dan cara mengajar pun tentunya saya ingin susun berdasarkan karakter individu di daerah tersebut karena saya yakin karakter setiap anak di seluruh wilayah Indonesia sangatlah berbeda sesuai dengan keragaman suku dan budaya yang ada. Kegiatan Ekspedisi Lombok ini merupakan salah satu kesempatan bagi saya untuk kembali melihat dan mempelajari bagaimana karakter putra putri bangsa serta mengobservasi apa yang dibutuhkan dan metode seperti apa yang bisa diteraokan untuk pendidikan khususnya wilayah Lombok. Tentunya kegiatan ini juga menjadi ladang kajian saya dalam mewujudkan impian saya membangun lembaga pendidikan yang sesuai dan tepat guna untuk putra-putri bangsa.
Kegiatan-kegiatan pengabdian sebelumnya juga pernah saya ikuti dengan tujuan yang sama untuk memperkaya pengetahuan mengenai karakter dan kondisi pendidikan suatu daerah. Pada tahun 2016 saya diberikan kesempatan untuk bisa bertandang di wilayah Papua tepatnya Kabupaten Asmat dalam program SM-3T. Selama 1 tahun saya megabdikan diri dan mempelajari karakter-karakter putra papua khususnya dalam pendidikan. Saya jadi tahu bahwa buku-buku dan materi yang diterbitkan oleh pemerintah di Jawa tidaklah bsia diterapkan di Asmat, kita hanya bisa mengambil materi pokok dengan memodifikasi sub materi dari kurikulum yang diterapkan yang tentunya harus disesuaikan dengan lingkungan tempat belajar. Awal tahun 2019 nanti saya juga diberikan kesempatan untuk bertandang ke wilayah Magelang tentunya untuk program pengabdian dan bidang yang akan saya geluti adalah bidang pendidikan. Kegiatan tersebut tentu kembali menambah wawasan saya mengenai karakter putra-putri bangsa khususnya wilayah Magelang. 

Kedepannya apabila saya menjadi bagian dari kegiatan Ekspedisi Lombok yang diselenggarakan oleh 10000 Beasiswa Semarang, saya akan menjalankan program-program yang sebelumnya saya susun dan sempat saya jalankan di program pengabdian sebelumnya, saya bisa kembali menambah wawasan saya terkait kebutuhan dan metode mengajar yang tepat untuk wilayah Lombok, dan yang terpenting jalan mewujudkan impian saya semakin terbuka lebar. Oleh karena itu melakukan yang terbaik untuk memenuhi harapan saya ini adalah dengan sikap konsistensi, pantang menyerah, kreatif, inovatif, bertanggung jawab serta komitmen yang tinggi tentunya dengan apa yang saya lakukan dalam mewujudkan impian saya dan sebagai kontribusi saya demi kelangsungan hidup bangsa.


itulah dua contoh motivation letter yang pernah saya buat, semoga bermanfaat.....
terimakasih

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1

 KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1 PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN OLEH ASEP SAEPUL, S.Pd., Gr CGP ANGKAT...