Rabu, 12 Juni 2019

THE ADVENTURE OF AN EDUCATOR IN BLACK PEARL LAND



Matahari pagi mulai menyibakkan tirai tipis kabut pegunungan, berganti dengan hangatnya pancaran sinar yang diberikan, embun pagi sedikit demi sedikit menguap menyatu dengan sejuknya udara pegunungan, burung-burung berkicauan mengumandangkan syukur kepada sang pencipta atas karunia yang diberikan-Nya. Pagi itu terlihat seorang Pemuda tengah sibuk mengemas pakaian dan perlengkapan lainnya seperti senter, sleeping bag, perlengkapan mandi, perlengkapan solat, obat-obatan, laptop, dan lainnya. Sejak semalam dia terus mengecek segala kebutuhan yang harus dibawa karena besoknya dia akan meninggalkan kampung halaman untuk bertugas di daerah yang jauh dari keramian dan ketersediaan kebutuhan sehari-hari.
Epul, nama dari pemuda yang tengah sibuk mengemas barang tersebut. Salah satu pemuda yang berhasil lolos mengikuti program Pemerintah untuk mengabdi sebagai Pendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) yang bekerjasama dengan kampus-kampus terkemuka diseluruh wilayah Republik Indonesia. Setelah melewati beberapa proses seleksi akhirnya Epul diterima sebagai pendidik di daerah 3T dan mendapat tugas di pelosok Kabupaten Asmat, Papua bersama dengan 54 rekan sesama Pendidik lainnya.
Hari ini adalah hari terakhir dia bisa menikmati udara pegunungan, menikmati makanan masakan Ibunya, menikmati fasilitas teknologi informasi dan komunikasi karena malam hari nanti dia bersama rekan-rekannya akan diantar menuju lokasi pengabdian. Barang-barang yang akan dibawa kini sudah rapi berada di dalam tas carrier, sementara laptop dimasukkan ke dalam tas gendong biasa. Setelah pamit dengan sanak saudara, Epul diantar bersama kedua orang tuanya dan juga beberapa saudara yang ikut ke Kampus tempat dulu dia mendaftarkan diri sebagai peserta untuk berkumpul dengan rekan-rekan lain dan nanti akan berangkat bersama menuju bandara Soekarno-Hatta.
Derai air mata dan doa tak kuasa mengalir dari kedua mata para orang tua yang akan melepaskan dengan berat hati anak-anaknya untuk bertugas di lokasi pengabdian nanti, tak terkecuali kedua orang tua Epul. Berat rasanya melepas anak sulungnya bertugas ke tanah Papua yang menurut kebanyakan orang lokasinya sangat berbahaya. Namun dia terus meyakinkan kedua orang tuanya dan memohon segala sesuatu dan penjagaan dirinya diserahkan pada Allah SWT. Untaian doa terus mengiringi langkah para Pendidik Muda yang akan berangkat menuju bandara Soekarno-Hatta dan terbang menuju tanah Papua.
Tak pernah terbayangkan olehnya ternyata untuk menuju lokasi pengabdian butuh waktu yang cukup lama dan berganti alat transportasi beberapa kali. Setelah enam jam mengudara, Epul dan rekan-rekannya harus melanjutkan perjalanan menggunakan kapal laut selama 12 jam dari pelabuhan Timika menuju pelabuhan Asmat, dari pelabuhan Asmat menuju lokasi pengabdian kembali menggunakan jalur laut menggunakan speedboat sekitar 3-4 jam perjalanan tergantung dengan kondisi lautan. Sungguh ini merupakan pengalaman pertama yang memacu adrenalinnya, sepanjang perjalanan doa terus dilantunkan mengharap keselamatan juga mengucap rasa kagum pada Sang Pencipta atas pemandangan yang disuguhkan selama perjalanan.
SD Inpres Sanep, Kampung Bawor-Eseib Distrik Pantai Kasuari merupakan sekolah tempat nanti dirinya akan menjalankan tugas pengabdian selama satu tahun, sementara rekan-rekannya yang lain mendapat sekolah yang berbeda di distrik yang berbeda pula. Bangunan yang terdiri dari 4 ruangan kelas dan 1 kantor ini terbuat dari kayu-kayu Besi khas di daerah Papua tanpa adanya fasilitas toilet, perpustakaan, dan fasilitas lainnya. Sekolah yang jauh berbeda dengan yang ada di Jawa dengan fasilitas-fasilitas yang lengkap. Setibanya di lokasi Epul disambut oleh seorang pria bernama Alfius, istrinya bernama Zita yang mana keduanya merupakan Guru di sekolah tersebut serta anaknya bernama Agio. Anak-anak kampung juga turut menghampiri kami tatkala kami turun dari speedboat. Wajah-wajah berkulit hitam berambut keriting yang menjadi ciri khas masyarakat pribumi tanah Papua, sulit sekali membedakan satu dengan yang lainnya diantara mereka. Selepas berkenalan dan mengobrol, dia dipersilahkan beristirahat dan merapikan barang-barang bawaannya.
Hari-hari terus dilalui Epul, tak menyangka dirinya mendapat tugas dari Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat hanya seorang diri terpisah dengan teman-temannya yang lain. Kini dia harus hidup sendiri selama satu tahun di daerah yang sunyi dengan dikelilingi hutan dan sungai. Suara-suara asing di malam hari terkadang membuat dirinya merasa takut, takut akan hewan buas atau tanpa disadari ada warga yang masuk tanpa izin. Sejak kecil Ibunya mendidik dia agar terbiasa membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencuci perabotan, memasak dan terbiasa untuk bisa mandiri sehingga tatkala jauh dari orang tua dia bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik, rumah tempatnya tinggal terjaga kebersihannya, makanpun terjaga 3 kali sehari walau dengan lauk seadanya. Memasak dengan kompor minyak tanahpun tidak jadi masalah buatnya, malah menjadi kenangan tersendiri bisa kembali merasakan bagaimana tangan hitam berbau minyak tatkala harus menarik sumbu-sumbu kompor yang mulai habis terbakar. Bukan hanya itu, orang tuanya juga berpesan dimanapun dia menginjakkan kakinya, berikanlah yang terbaik, beradaptasilah dengan baik agar mampu diterima oleh masyarakat dengan baik. Hidup dalam kesederhanaan selama pengabdian membuatnya sadar bahwa untuk bahagia tidak harus dengan banyak harta tapi dengan selalu bersyukur atas apa yang didapat, hidup dalam kesederhanaan membuatnya lebih pandai mengatur segala sesuatu agar kehidupannya tercukupi.
Tugasnya sebagai pendidik tak pernah dia tinggalkan sedikitpun, selalu dilakoni dengan sepenuh hati. Meskipun dia mendapat anak-anak didik paling nakal di sekolah, sebagian besar belum bisa membaca, tidak mau belajar, susah diatur, namun semua tidak menyurutkan semangatnya untuk memberikan pendidikan bagi mereka. Baginya, anak-anak nakal dan aktif justru merupakan cikal bakal generasi yang mampu merubah dunia, tentunya harus tetap dalam bimbingan dan pengawasan. Berbagai macam metode mengajar dia lakukan mulai dari mengajar di atas jembatan depan sekolah, belajar di pinggir sungai, membuat permainan, nyanyian, membuat kerajinan tangan, semua dilakukan untuk menarik perhatian anak-anak agar mau belajar, bahkan mempelajari bahasa suku mereka serta bahasa Indonesia Timur dia lakoni agar lebih mudah penyampaian materi kepada anak-anak di sekolah. Dia yakin bahwa anak-anak pedalaman juga memiliki bakat-bakat serta kemampuan yang mumpuni seperti anak-anak di kota-kota besar apabila telaten dalam mendidiknya. Maka tak ayal Pendidik Muda ini sering melakukan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler seperti kegiatan pramuka, senam, permainan tradisional, bola voli dan sepak bola serta kegiatan-kegiatan peringatan hari besar nasional yang mana tujuannya agar kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap anak bisa diasah dengan baik. Anak-anak di sekolah juga diajarkan tata cara pelaksanaan upacara bendera setiap senin pagi sebagai proses mendisiplinkan diri dan pengingat akan jasa-jasa para pahlawan yang berjuang demi mengibarkan sang merah putih. Pencapaian yang mengejutkan adalah anak-anak mampu melaksanakan upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional dengan mengenakan cawat sebagai pakaian adat Kabupaten Asmat. Akibat kerja keras dan kegigihannya, anak-anak semakin giat datang ke sekolah, sedikit demi sedikit mereka mulai bisa membaca, tingkat kecerdasan mereka mulai berkembang dengan baik, hingga Pendidik Muda tersebut mampu membawa anak didiknya untuk pertama kali mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat distrik dan berhasil meraih juara kedua untuk mata pelajaran Matematika. Kebahagian terpancar dari wajah anak-anak yang mengikuti perlombaan, mereka tidak sabar ingin mengikuti kegiatan berikutnya, hal ini tentu menjadi salah satu faktor penguat keinginan mereka untuk belajar.
Hari demi hari, bulan demi bulan terus dilalui, tak terasa Epul telah mendapatkan tempat di hati anak-anak dan masyarakat sekitar. Meskipun dia tinggal sendiri dan jauh dari keluarga, kini dia tidak merasa sendirian dan terasingkan, kesunyian malam juga tak lagi membuat dirinya merasa takut. Hubungan dengan para guru terjalin dengan baik, satu sama lain saling bertukar pikiran dan pendapat. Beruntung dia mendapat sosok kepala sekolah yang sangat berdedikasi tinggi terhadap pendidikan terutama untuk sekolah tempat beliau mengabdi. Anak-anak tidak hanya bertemu saat di sekolah saja, namun sekarang tiga kali dalam seminggu mereka datang untuk belajar di sore hari, terkadang Epul memperkenalkan permainan-permainan tradisional yang dulu pernah mereka mainkan di tanah kelahirannya, dia juga sering berbagi cerita tentang kondisi lingkungan yang ada di Jawa, berbagi cerita perjalanan bisa sampai ke tanah Papua serta berbagi cerita tentang cita-citanya juga cita-cita anak-anak didiknya, memancing ikan dan udang bersama anak-anak di tengah malam yang sunyi dan gelap gulita, namun begitu dia menikmatinya dengan penuh suka cita. Masyarakatpun menerimanya dengan baik, obrolan-obrolan ringan sering terjadi terutama di sore hari sambil duduk di atas jembatan, masyarakat juga sering berbagi bahan makanan seperti sayur dan ubi, toleransi dan gotong royong yang mereka miliki sangat tinggi. Epul yang hanya satu-satunya beragama Islam di kampung itu tidak merasa didiskriminasi oleh masyarakat sekitar. Masyarakat dan para guru di sana semua menganut agama Kristen Katolik dan Protestan, namun demikian Epul sering diperlakukan dengan baik, ibadah selalu ia jalankan tanpa ada yang menghalang-halangi, bahkan makanan pun terkadang masyarakat bertanya apakah mereka berdua bisa memakan jenis makanan tertentu atau tidak. Sungguh diluar dari apa yang dibayangkan oleh Epul sebelumnya, masyarakat Papua memang keras, gaya bahasanya memang kasar, mudah tersulut emosi, tapi perlu digaris bawahi bahwa mereka juga sangat baik bahkan lebih baik dari orang-orang yang hidup diperkotaan, memang terkadang ia sering mendengar keributan masyarakat sekitar, terutama keributan antar kampung sampai-sampai senjata seperti panah, parang dan senjata tajam lainnya menjadi bagian dalam keributan tersebut, tetapi masyarakat tidak pernah sampai mengganggu dirinya.
Sadar ataupun tidak, hatinya telah menemukan kenyamanan dipedalaman Papua. Masyarakat yang begitu baik, rekan guru yang saling mengayomi, anak-anak yang penuh keceriaan sudah menjadi keluarga baru yang membuat dirinya betah dan merasa aman. Lingkungan yang dikelilingi nuansa hijau, pemandangan sekitar sungai yang indah, pesona langit sore yang indah, semua tidak bisa ditemukan bila sudah kembali ke Jawa nanti. Walaupun tanpa sinyal seluler, tanpa adanya listrik, tanpa alat komunikasi dan informasi, bahkan hanya diiringi dengan kesunyian namun semua itu justru membuat kenyamanan dan ketenangan tersendiri di hatinya, ingin rasanya lebih lama mengabdi disana menikmati segala macam suguhan alam yang ada. Waktu terus berjalan tak mampu untuk ia cegah, hari dimana perpisahan itu kini telah di depan mata. Kini ia harus mengucapkan salam perpisahan dengan seluruh anak didiknya yang selama satu tahun ini mereka didik, berpamitan dengan seluruh warga masyarakat dan berpamitan dengan kepala sekolah serta guru-guru yang dengan tangan terbuka menerimanya sebagai guru sementara. Dia memeluk para guru serta anak-anak didiknya untuk terakhir kali karena dia tidak tahu kapan bisa bertemu kembali dengan mereka. Epul mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam atas kebaikan seluruh masyarakat dan pihak sekolah. Derai air mata tak kuasa mengalir membasahi pipi Epul, tak ayal masyarakat dan anak-anak pun ikut menangis, mereka tak mau berpisah dengan Pendidik Muda tersebut. Kepala sekolah tak lupa memberikan doa semoga masih bisa dipertemukan kembali dan semoga kedua guru muda tersebut bisa meraih kesuksesan dan mendedikasikan diri bagi pendidikan di Indonesia khususnya di daerah tempat mereka nanti kembali mengabdi. Epul diantar berarak oleh seluruh masyarakat menuju pelabuhan pinggir sungai di Kampung Eseib tempat Speedboat dan orang dari dinas pendidikan menunggu. Sekali lagi sebelum menaiki Speedboat Epul kembali merangkul dan memeluk kepala sekolah dan juga menyempatkan foto bersama sebagai kenang-kenangan yang tak akan pernah terlupakan. Epul lantas menaiki Speedboat dan pamit kembali berkumpul dengan rekan-rekannya yang lain untuk kembali terbang ke Jakarta dan pulang ke tempat masing-masing. 
Suara-suara kendaraan yang berlalu lalang, kerlap kerlip lampu bangunan dan penerangan jalan menandakan bahwa dirinya kini sudah berada di kota besar Pula Jawa. Sebentar lagi para Pendidik Muda akan bertemu dengan sanak saudaranya, melepas rasa rindu setelah satu tahun terpisah tanpa bisa saling menghubungi, membagikan seluruh pengalaman yang telah dijalaninya selama mengabdi. Pengabdian yang telah dijalani selama satu tahun ini membuat Epul semakin bersemangat untuk mengabdikan dirinya di dunia pendidikan, dia yakin kualitas pendidikan merupakan pondasi utama majunya suatu bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1

 KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1 PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN OLEH ASEP SAEPUL, S.Pd., Gr CGP ANGKAT...