Matahari pagi mulai menyibakkan
tirai tipis kabut pegunungan, berganti dengan hangatnya pancaran sinar yang
diberikan, embun pagi sedikit demi sedikit menguap menyatu dengan sejuknya
udara pegunungan, burung-burung berkicauan mengumandangkan syukur kepada sang
pencipta atas karunia yang diberikan-Nya. Pagi itu terlihat seorang Pemuda
tengah sibuk mengemas pakaian dan perlengkapan lainnya seperti senter, sleeping bag, perlengkapan mandi, perlengkapan
solat, obat-obatan, laptop, dan lainnya. Sejak semalam dia terus mengecek
segala kebutuhan yang harus dibawa karena besoknya dia akan meninggalkan
kampung halaman untuk bertugas di daerah yang jauh dari keramian dan
ketersediaan kebutuhan sehari-hari.
Epul, nama dari pemuda
yang tengah sibuk mengemas barang tersebut. Salah satu pemuda yang berhasil
lolos mengikuti program Pemerintah untuk mengabdi sebagai Pendidik di daerah
Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) yang bekerjasama dengan kampus-kampus
terkemuka diseluruh wilayah Republik Indonesia. Setelah melewati beberapa
proses seleksi akhirnya Epul diterima sebagai pendidik di daerah 3T dan
mendapat tugas di pelosok Kabupaten Asmat, Papua bersama dengan 54 rekan sesama
Pendidik lainnya.
Hari ini adalah hari
terakhir dia bisa menikmati udara pegunungan, menikmati makanan masakan Ibunya,
menikmati fasilitas teknologi informasi dan komunikasi karena malam hari nanti
dia bersama rekan-rekannya akan diantar menuju lokasi pengabdian. Barang-barang
yang akan dibawa kini sudah rapi berada di dalam tas carrier, sementara laptop dimasukkan ke dalam tas gendong biasa.
Setelah pamit dengan sanak saudara, Epul diantar bersama kedua orang tuanya dan
juga beberapa saudara yang ikut ke Kampus tempat dulu dia mendaftarkan diri
sebagai peserta untuk berkumpul dengan rekan-rekan lain dan nanti akan
berangkat bersama menuju bandara Soekarno-Hatta.
Derai air mata dan doa
tak kuasa mengalir dari kedua mata para orang tua yang akan melepaskan dengan
berat hati anak-anaknya untuk bertugas di lokasi pengabdian nanti, tak terkecuali
kedua orang tua Epul. Berat rasanya melepas anak sulungnya bertugas ke tanah
Papua yang menurut kebanyakan orang lokasinya sangat berbahaya. Namun dia terus
meyakinkan kedua orang tuanya dan memohon segala sesuatu dan penjagaan dirinya
diserahkan pada Allah SWT. Untaian doa terus mengiringi langkah para Pendidik Muda
yang akan berangkat menuju bandara Soekarno-Hatta dan terbang menuju tanah
Papua.
Tak pernah terbayangkan
olehnya ternyata untuk menuju lokasi pengabdian butuh waktu yang cukup lama dan
berganti alat transportasi beberapa kali. Setelah enam jam mengudara, Epul dan
rekan-rekannya harus melanjutkan perjalanan menggunakan kapal laut selama 12
jam dari pelabuhan Timika menuju pelabuhan Asmat, dari pelabuhan Asmat menuju
lokasi pengabdian kembali menggunakan jalur laut menggunakan speedboat sekitar 3-4 jam perjalanan
tergantung dengan kondisi lautan. Sungguh ini merupakan pengalaman pertama yang
memacu adrenalinnya, sepanjang perjalanan doa terus dilantunkan mengharap
keselamatan juga mengucap rasa kagum pada Sang Pencipta atas pemandangan yang
disuguhkan selama perjalanan.
SD Inpres Sanep, Kampung
Bawor-Eseib Distrik Pantai Kasuari merupakan sekolah tempat nanti dirinya akan
menjalankan tugas pengabdian selama satu tahun, sementara rekan-rekannya yang
lain mendapat sekolah yang berbeda di distrik yang berbeda pula. Bangunan yang
terdiri dari 4 ruangan kelas dan 1 kantor ini terbuat dari kayu-kayu Besi khas
di daerah Papua tanpa adanya fasilitas toilet, perpustakaan, dan fasilitas
lainnya. Sekolah yang jauh berbeda dengan yang ada di Jawa dengan
fasilitas-fasilitas yang lengkap. Setibanya di lokasi Epul disambut oleh
seorang pria bernama Alfius, istrinya bernama Zita yang mana keduanya merupakan
Guru di sekolah tersebut serta anaknya bernama Agio. Anak-anak kampung juga
turut menghampiri kami tatkala kami turun dari speedboat. Wajah-wajah berkulit hitam berambut keriting yang
menjadi ciri khas masyarakat pribumi tanah Papua, sulit sekali membedakan satu
dengan yang lainnya diantara mereka. Selepas berkenalan dan mengobrol, dia
dipersilahkan beristirahat dan merapikan barang-barang bawaannya.
Hari-hari terus dilalui Epul,
tak menyangka dirinya mendapat tugas dari Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat
hanya seorang diri terpisah dengan teman-temannya yang lain. Kini dia harus
hidup sendiri selama satu tahun di daerah yang sunyi dengan dikelilingi hutan
dan sungai. Suara-suara asing di malam hari terkadang membuat dirinya merasa
takut, takut akan hewan buas atau tanpa disadari ada warga yang masuk tanpa
izin. Sejak kecil Ibunya mendidik dia agar terbiasa membersihkan rumah, mencuci
pakaian, mencuci perabotan, memasak dan terbiasa untuk bisa mandiri sehingga
tatkala jauh dari orang tua dia bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik,
rumah tempatnya tinggal terjaga kebersihannya, makanpun terjaga 3 kali sehari
walau dengan lauk seadanya. Memasak dengan kompor minyak tanahpun tidak jadi
masalah buatnya, malah menjadi kenangan tersendiri bisa kembali merasakan
bagaimana tangan hitam berbau minyak tatkala harus menarik sumbu-sumbu kompor
yang mulai habis terbakar. Bukan hanya itu, orang tuanya juga berpesan
dimanapun dia menginjakkan kakinya, berikanlah yang terbaik, beradaptasilah
dengan baik agar mampu diterima oleh masyarakat dengan baik. Hidup dalam
kesederhanaan selama pengabdian membuatnya sadar bahwa untuk bahagia tidak
harus dengan banyak harta tapi dengan selalu bersyukur atas apa yang didapat,
hidup dalam kesederhanaan membuatnya lebih pandai mengatur segala sesuatu agar
kehidupannya tercukupi.
Tugasnya sebagai pendidik
tak pernah dia tinggalkan sedikitpun, selalu dilakoni dengan sepenuh hati.
Meskipun dia mendapat anak-anak didik paling nakal di sekolah, sebagian besar
belum bisa membaca, tidak mau belajar, susah diatur, namun semua tidak menyurutkan
semangatnya untuk memberikan pendidikan bagi mereka. Baginya, anak-anak nakal
dan aktif justru merupakan cikal bakal generasi yang mampu merubah dunia,
tentunya harus tetap dalam bimbingan dan pengawasan. Berbagai macam metode
mengajar dia lakukan mulai dari mengajar di atas jembatan depan sekolah,
belajar di pinggir sungai, membuat permainan, nyanyian, membuat kerajinan
tangan, semua dilakukan untuk menarik perhatian anak-anak agar mau belajar, bahkan
mempelajari bahasa suku mereka serta bahasa Indonesia Timur dia lakoni agar
lebih mudah penyampaian materi kepada anak-anak di sekolah. Dia yakin bahwa
anak-anak pedalaman juga memiliki bakat-bakat serta kemampuan yang mumpuni
seperti anak-anak di kota-kota besar apabila telaten dalam mendidiknya. Maka tak
ayal Pendidik Muda ini sering melakukan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler
seperti kegiatan pramuka, senam, permainan tradisional, bola voli dan sepak
bola serta kegiatan-kegiatan peringatan hari besar nasional yang mana tujuannya
agar kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap anak bisa diasah
dengan baik. Anak-anak di sekolah juga diajarkan tata cara pelaksanaan upacara
bendera setiap senin pagi sebagai proses mendisiplinkan diri dan pengingat akan
jasa-jasa para pahlawan yang berjuang demi mengibarkan sang merah putih. Pencapaian
yang mengejutkan adalah anak-anak mampu melaksanakan upacara peringatan Hari Pendidikan
Nasional dengan mengenakan cawat sebagai pakaian adat Kabupaten Asmat. Akibat
kerja keras dan kegigihannya, anak-anak semakin giat datang ke sekolah, sedikit
demi sedikit mereka mulai bisa membaca, tingkat kecerdasan mereka mulai
berkembang dengan baik, hingga Pendidik Muda tersebut mampu membawa anak
didiknya untuk pertama kali mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat
distrik dan berhasil meraih juara kedua untuk mata pelajaran Matematika.
Kebahagian terpancar dari wajah anak-anak yang mengikuti perlombaan, mereka
tidak sabar ingin mengikuti kegiatan berikutnya, hal ini tentu menjadi salah
satu faktor penguat keinginan mereka untuk belajar.
Hari demi hari, bulan
demi bulan terus dilalui, tak terasa Epul telah mendapatkan tempat di hati
anak-anak dan masyarakat sekitar. Meskipun dia tinggal sendiri dan jauh dari
keluarga, kini dia tidak merasa sendirian dan terasingkan, kesunyian malam juga
tak lagi membuat dirinya merasa takut. Hubungan dengan para guru terjalin
dengan baik, satu sama lain saling bertukar pikiran dan pendapat. Beruntung dia
mendapat sosok kepala sekolah yang sangat berdedikasi tinggi terhadap
pendidikan terutama untuk sekolah tempat beliau mengabdi. Anak-anak tidak hanya
bertemu saat di sekolah saja, namun sekarang tiga kali dalam seminggu mereka
datang untuk belajar di sore hari, terkadang Epul memperkenalkan
permainan-permainan tradisional yang dulu pernah mereka mainkan di tanah
kelahirannya, dia juga sering berbagi cerita tentang kondisi lingkungan yang
ada di Jawa, berbagi cerita perjalanan bisa sampai ke tanah Papua serta berbagi
cerita tentang cita-citanya juga cita-cita anak-anak didiknya, memancing ikan
dan udang bersama anak-anak di tengah malam yang sunyi dan gelap gulita, namun
begitu dia menikmatinya dengan penuh suka cita. Masyarakatpun menerimanya dengan
baik, obrolan-obrolan ringan sering terjadi terutama di sore hari sambil duduk
di atas jembatan, masyarakat juga sering berbagi bahan makanan seperti sayur
dan ubi, toleransi dan gotong royong yang mereka miliki sangat tinggi. Epul
yang hanya satu-satunya beragama Islam di kampung itu tidak merasa
didiskriminasi oleh masyarakat sekitar. Masyarakat dan para guru di sana semua
menganut agama Kristen Katolik dan Protestan, namun demikian Epul sering
diperlakukan dengan baik, ibadah selalu ia jalankan tanpa ada yang
menghalang-halangi, bahkan makanan pun terkadang masyarakat bertanya apakah
mereka berdua bisa memakan jenis makanan tertentu atau tidak. Sungguh diluar
dari apa yang dibayangkan oleh Epul sebelumnya, masyarakat Papua memang keras,
gaya bahasanya memang kasar, mudah tersulut emosi, tapi perlu digaris bawahi bahwa
mereka juga sangat baik bahkan lebih baik dari orang-orang yang hidup
diperkotaan, memang terkadang ia sering mendengar keributan masyarakat sekitar,
terutama keributan antar kampung sampai-sampai senjata seperti panah, parang
dan senjata tajam lainnya menjadi bagian dalam keributan tersebut, tetapi
masyarakat tidak pernah sampai mengganggu dirinya.
Sadar ataupun tidak,
hatinya telah menemukan kenyamanan dipedalaman Papua. Masyarakat yang begitu
baik, rekan guru yang saling mengayomi, anak-anak yang penuh keceriaan sudah
menjadi keluarga baru yang membuat dirinya betah dan merasa aman. Lingkungan
yang dikelilingi nuansa hijau, pemandangan sekitar sungai yang indah, pesona
langit sore yang indah, semua tidak bisa ditemukan bila sudah kembali ke Jawa
nanti. Walaupun tanpa sinyal seluler, tanpa adanya listrik, tanpa alat
komunikasi dan informasi, bahkan hanya diiringi dengan kesunyian namun semua
itu justru membuat kenyamanan dan ketenangan tersendiri di hatinya, ingin
rasanya lebih lama mengabdi disana menikmati segala macam suguhan alam yang
ada. Waktu terus berjalan tak mampu untuk ia cegah, hari dimana perpisahan itu
kini telah di depan mata. Kini ia harus mengucapkan salam perpisahan dengan
seluruh anak didiknya yang selama satu tahun ini mereka didik, berpamitan
dengan seluruh warga masyarakat dan berpamitan dengan kepala sekolah serta
guru-guru yang dengan tangan terbuka menerimanya sebagai guru sementara. Dia memeluk
para guru serta anak-anak didiknya untuk terakhir kali karena dia tidak tahu
kapan bisa bertemu kembali dengan mereka. Epul mengucapkan rasa terima kasih
yang mendalam atas kebaikan seluruh masyarakat dan pihak sekolah. Derai air
mata tak kuasa mengalir membasahi pipi Epul, tak ayal masyarakat dan anak-anak
pun ikut menangis, mereka tak mau berpisah dengan Pendidik Muda tersebut.
Kepala sekolah tak lupa memberikan doa semoga masih bisa dipertemukan kembali
dan semoga kedua guru muda tersebut bisa meraih kesuksesan dan mendedikasikan
diri bagi pendidikan di Indonesia khususnya di daerah tempat mereka nanti
kembali mengabdi. Epul diantar berarak oleh seluruh masyarakat menuju pelabuhan
pinggir sungai di Kampung Eseib tempat Speedboat
dan orang dari dinas pendidikan menunggu. Sekali lagi sebelum menaiki Speedboat Epul kembali merangkul dan
memeluk kepala sekolah dan juga menyempatkan foto bersama sebagai
kenang-kenangan yang tak akan pernah terlupakan. Epul lantas menaiki Speedboat dan pamit kembali berkumpul
dengan rekan-rekannya yang lain untuk kembali terbang ke Jakarta dan pulang ke
tempat masing-masing.
Suara-suara kendaraan
yang berlalu lalang, kerlap kerlip lampu bangunan dan penerangan jalan
menandakan bahwa dirinya kini sudah berada di kota besar Pula Jawa. Sebentar
lagi para Pendidik Muda akan bertemu dengan sanak saudaranya, melepas rasa
rindu setelah satu tahun terpisah tanpa bisa saling menghubungi, membagikan
seluruh pengalaman yang telah dijalaninya selama mengabdi. Pengabdian yang
telah dijalani selama satu tahun ini membuat Epul semakin bersemangat untuk
mengabdikan dirinya di dunia pendidikan, dia yakin kualitas pendidikan
merupakan pondasi utama majunya suatu bangsa.