Pemerintah melalui kebijakannya kembali membuat peraturan
baru yang mana kali ini peraturan tersebut berkaitan dengan dunia pendidikan.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMDIKBUD) mengeluarkan peraturan sistem
Zonasi dalam Peneriaam Peserta Didik Baru (PPDB). Zonasi merupakan sistem
dimana peserta didik hanya bisa medaftar ke sekolah negeri dalam batas zona
dekat dengan domilisi peserta didik tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan
juga peserta didik bisa mendaftar di luar zona melalui jalur nonzona dan jalur
pindah tugas orang tua hanya saja presentase yang disediakan melalui jalur ini
sangatlah sedikit dibanding jalur zonasi. Tujuan yang hendak dicapai oleh
pemerintah dengan menerapkannya sistem ini ialah demi pemerataan kualitas
pendidikan, mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah demi penguatan
karakter individu, menghapus istilah sekolah favorit (semua sekolah harus
memiliki kualitas yang baik), redistribusi dan pemerataan guru serta perbaikan
sarana prasarana sekolah.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini
Kemdikbud tentu banyak mengundang respon dari masyarakat. Pro dan kontra akan
suatu kebijakan sudah tak asing lagi terutama apabila berkaitan dengan
pendidikan, masyarakat dengan jempol-jempol saktinya langsung melontarkan
argumen mereka menunjukkan bahwa mereka peduli dengan pendidikan di Indonesia.
Masyarakat yang pro dengan kebijakan pemerintah menilai bahwa tujuan adanya
sistem ini memang sudah tepat terutama perihal label sekolah favorit yang
kadang mengakibatkan terjadinya kesenjangan jumlah murid di suatu sekolah
dengan sekolah lain. Lain hal dengan mereka yang kontra akan kebijakan yang
dikeluarkan, sugesti yang berkembang di masyarakat yang mana prestasi akademik
adalah hal segalanya dalam dunia pendidikan membuat mereka khawatir dengan
pretasi anak-anaknya bila disekolahkan di sekolah biasa, peserta didik
menganggap bahwa usaha mereka belajar demi mendapat nilai tinggi dan masuk
sekolah favorit menjadi sia-sia, kondisi setiap sekolah yang berbeda pun
menjadi pertimbangan masyarakat.
Lalu bagaimana pelaksanaannya dilapangan? Nyatanya sistem
ini belum berjalan dengan baik, masih perlu adanya perbaikan dalam teknik
pelaksanaan sistem zonasi ini. presentase zonasi di setiap daerah ternyata
berbeda-beda mulai dari 60%, 70% sampai 80% PPDB jalur zonasi sisanya melalui
jalur prestasi atau luar zona. Pendaftar tercepat menjadi prioritas pihak
sekolah dalam penerimaannya meskipun jaraknya masih kalah dengan pendaftar lain
namun sedikit dibelakang ketika mendaftar. Nilai masih menjadi patokan, tetapi
banyak siswa yang mendaftar dengan nilai tinggi namun tidak lulus karena sistem
zonasi. Awak media memberitakan bagaimana ricuhnya proses PPDB di beberapa sekolah
yang ada di Indonesia, berbeda dengan dulu, kini antrian pendaftaran sekolah
seperti antrian masyarakat ketika mendapatkan bantuan dari pemerintah. Selain ricuhnya
antrian orang tua siswa yang ingin mendaftarkan anaknya, ada pula diberitakan
siswa yang kecewa karena tidak diterima di sekolah negeri walau dia memiliki
segudang prestasi yang akhirnya membakar piagam-piagam penghargaan karena
dirasa sudah tidak berguna bagi kehidupannya. Ada pula yang hampir bunuh diri
karena kecewa tidak diterima disekolah yang dia mau karena sistem zonasi ini. Masyarakat
yang kontra akan kebijakan pemerintah ini tidka henti-hentinya membombardir argumennya
melalui jejaring sosial, setiap ada postingan yang berkaitan dengan sistem
zonasi, masyarakat langsung cepat respon hingga terbit sebuah pribahasa “TUNTUTLAH
ILMU SEBATAS ZONASI”.
Memang pada dasarnya kebijakan ini belum maksimal dalam
pelaksanaannya, masih banyak ketimpangan yang harus diperbaiki. Apakah sistem
zonasi merupakan langkah pertama dalam pemerataan pendidikan atau perbaikan
kualitas sekolah dan tenaga kependidikan yang harus didahulukan. Apabila meniliki
lebih dalam, memang ada beberapa yang menjadi plus dan minus dari kebijakan
sistem zonasi ini. Plusnya adalah pemerintah berusaha membunuh sugesti
masyarakat terkait sekolah favorit, disamping itu pemerataan jumlah siswa di
setiap sekolah agar tidak terjadi pembludakan hanya di beberapa sekolah saja. Namun
minunya dari sistem ini adalah pola pikir masyarakat Indonesia yang
mengedepankan nilai bagus disetiap mata pelajaran dan kegiatan tambahan bagi si
anak mengakibatkan orang tua khawatir apabila anaknya masuk ke sekolah yang
termasuk kategori biasa saja menurut mereka, hal ini tentu harus kita hapuskan
dari pikiran kita karena bagaimanapun anak bisa berkembang dan terus
berprestasi di manapun mereka berbeda, tidak ada sekolah yang tidak baik bagi
mereka untuk menunjukkan potensinya. Kondisi sekolah dimana sarana prasarana
setiap sekolah akan berbeda terlebih dengan wilayah pedesaan atau pedalaman. Apabila
sistem ini berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, kita harus melihat kondisi di
wilayah pedalaman Indonesia terutama lokasi perbatasan, bukan di pedalaman
saja, kita juga bisa menemukan kondisi ini di pedesaan dimana lokasi sekolah dengan
tempat tinggal siswa di wilayah yang sama berjauhan, namun tempat tinggal siswa
tersebut lebih dekat dengan lokasi sekolah tetapi di wilayah berbeda. Tentu pemerintah
perlu mengkaji setiap kebijakan dengan melihat kondisi dilapangan dalam hal ini
wilayah pedesaaan dan pedalaman jangan melihat hanya sebatas wilayah perkotaan
yang telah maju. Tentu apapun kebijakannya jika hanya melihat kondisi di
perkotaan tidak akan bisa berjalan dengan baik khususnya bagi pedesaan dan
pedalaman.
Sistem zonasi memang masih perlu perbaikan, masyarakat boleh
setuju atau tidak karena itu merupakan tindakan kepedulian dalam pendidikan. Tapi
satu yang harus kita ingat, bahwa dimanapun kita belajar, menimba ilmu,
mengembangkan kemampuan dan membentuk budi pekerti yang baik, lakukanlah dengan
sungguh-sungguh, terima dengan tulus ikhlas karena dengan begitu apa yang kita
impikan akan tercapai dengan baik.
So, Sistema zonasi , Solusi? Atau masalah baru? Silahkan berpendapat
sendiri.